Awas! Banjir Branding
dan Politik Citra

ABDULLAH KHUSAIRI

Sebentar lagi, kita akan menikmati branding personal dari calon-calon anggota legislatif, calon presiden dan calon wakil presiden. Mereka akan dipoles oleh tim kreatif dengan strategi kampanye yang dianggap mutakhir dan dikelola profesional oleh tim sukses. Di situ ada kata-kata, design grafis, yang menampilkan komunikasi visual mungkin dianggap aduhai.

Sebagai orang kampus yang meminati kajian komunikasi massa, ini akan menarik untuk diamati, ditambah lagi dengan pendekatan Islamic Studies. Pengamatan akan menjadi catatan terhadap personal calon, partai, juga masa depan demokratisasi yang sudah kita nikmati ini.

Gemuruh branding personal bersama partai-partai, akan membuat banjir citra yang menyilaukan. Ini bagian dari lingkaran komodifikasi politik yang luar biasa hebat di tengah rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Luas sekali. Jauh dan tiga sistem waktu. Nyaris seluas Eropa yang banyak negara tapi kecil-kecil nan hebat itu, tetapi NKRI satu negara saja.

Inilah pilihan kita, demokrasi yang didirikan di atas rasa lapar, serta kebutuhan hidup yang terus meningkat. Lalu politik seperti sebuah harapan. Harapan yang dibujuk ke mata dan telinga publik atas hari esok yang kian baik karena memilih mereka. Mereka yang berani menaruh harapan di ruang publik dan ingin diletakkan di hati kita, rakyat yang berdaulat untuk memilih di bilik suara.

Jika kita bukan orang politik, tidak begitu menyadari pentingnya branding dan citra diri. Malahan ada yang sengaja tak memikirkan itu. Sehingga yang terjadi tanpa sadar langkahnya merusak citra diri di hadapan teman dan kolega. Misalnya, tidak bertanggung-jawab dengan amanah yang diberikan, atau lari dari peran dan tugas yang mestinya diselesaikan. Tetapi itulah pilihan, sebab hidup memang pilihan. Baik-buruk biasanya tergantung kemauan personal yang memilih.

Kembali ke soal pengamatan kita terhadap proses pemilihan anggota legislatif 2024 nanti, mereka adalah para sarjana yang pernah menjadi mahasiswa di kampus. Mereka yang telah memilih jalan, politik sebagai ladang amal dan jalan perjuangan untuk kemaslhatan ummat. Kita harus dorong mereka yang kita yakini memiliki kapasitas dalam perjuangan tersebut. Biar bisa duduk di kursi empuk legislatif dengan catatan, mau memperjuangkan aspirasi kita. Sungguhpun itu harapan yang sangat tipis.

Partai-partai mengutuskan kader terbaik untuk berhadapan dengan rakyat, tetapi sebagai rakyat, kita harus belajar tentang siapa mereka. Apakah pernah mengingkari janji, apakah masih bisa diandalkan untuk kebaikan negeri ini. Mereka yang sudah pernah cacat janji, cacat moral, sebaiknya tinggalkan, jangan dipilih. Mereka yang baik, berprestasi, pilihlah.

Perlu diingat adalah, politik pencitraan sering kali menyilaukan. Perlu mengakali dengan daya kritis agar tahu siapa mereka. Branding personal mereka perlu dibongkar, apakah ada keselarasan antara moral dengan ambisi mereka. Apakah branding personal itu sekadar mengada-ada atau iklan semata. Hal ini sebenarnya, melalui komunikasi visual yang ditampilkan di baliho, spanduk, stiker yang mereka sebar, bisa dilihat, bagaimana design grafis dan kata-kata yang dipilih. Mereka yang kreatif, dengan dasar berpikir strategis, biasanya komunikasi visual mereka akan menarik dan eye chacting. Mereka yang asal buat, sudah bisa ditebak, hanya punya ambisi tetapi tidak memiliki daya kreatif dan strategi.

Tentu saja secara umum, akan ada saling sering antar tokoh politik dalam bersaing ketat menguasai panggung publik. Media sosial akan bergemuruh, citra partai dan citra personal akan dihantam badai dari berbagai lini. Tetapi kita bisa belajar, di ujung permainan, biasanya siapa yang diuntungkan, itulah salah satu yang memainkan peran. Politik salah satunya adalah membaca segala kemungkinan. Bisa jadi pula, yang memainkan akrobat playing victim, segera ketahuan pada waktunya. Kebenaran selalu berada jauh di belakang dari citra yang dipancarkan. Kecerdasan membaca keadaan kita mulai dari sekarang, jangan pernah tertipu berkali-kali. Setiap pemilu tiba, kita sudah awas. Ingat, yang membeli suara dengan uang, sudah tentu sebagai kecurangan kontestasi. Itu buruk bagi masa depan bangsa.

Terakhir, banjir branding dan politik citra, kita tak boleh hanyut dibawa arus. Harus mampu bertahan, berenang dan menyelamatkan prinsip, bahwa memilih karena memang secara personal calon tersebut memang layak karena kapasitas, bukan karena ganjaran uang dan pesona semata. Salam.

Dosen Komunikasi Massa FDIK UIN Imam Bonjol Padang

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *