IAIN Imam Bonjol: Sebuah Move on Politik


Oleh Muhammad Nasir

Menteri Agama RI Prof. K.H. Saifuddin Zuhri menegerikan tiga fakultas yang menjadi sokoguru IAIN Imam Bonjol Padang. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) No. 76, tanggal 21 November 1966. Ketiga fakultas yang dinegrikan itu adalah Fakultas Adab di Payakumbuh, Fakultas Syari’ah di Bukitinggi dan Fakultas Ushuluddin di Padang Panjang. Ketiga fakultas itu sebagaimana tertuang dalam SK Menteri Agama, pindah manajemen dari semula di bawah asuhan Yayasan Imam Bonjol menjadi fakultas-fakultas negeri di bawah naungan Institut Agama Islam Negeri al Djami’ah al Islamiyah al Hukumiyah.

Sementara menunggu keputusan Presiden Republik Indonesia, mentri Agama RIDalam SK menteri agam itu juga diangkat pejabat Dekan. Sebagai Dekan pertama Fakultas Adab ditunjuk H.Izzuddin Marzuki, LAL dengan kampus tempat belajar masih berlokasi di Payakumbuh. KH Mansur Dt Nagari Basa ditunjuk sebagai Pejabat Dekan Fakultas Syari’ah di Bukittinggi dan H. Baharuddin Sjarif, MA ditunjuk sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin di Padang Panjang.

Kehadiran ketiga fakultas negeri ini menggenapi jumlah fakultas di IAIN Imam Bonjol Padang menjadi empat. Sebelumnya, Fakultas Tarbiyah yang menjadi bagian dari fakultas IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sudah dipisah dan dinegerikan. Pada 29 November 1966, berdasarkan SK Menteri Agama No. 77 Tahun 1966, IAIN Imam Bonjol Padang diresmikan oleh Menteri Agama Prof. K.H. Saifuddin Zuhri.

Aspirasi Masyarakat Sumatera Barat terpenuhi
Berdirinya ketiga fakultas itu merupakan capaian terpenting masyarakat Sumatera Barat. Setelah mengalami masa-masa canggung setelah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958, berdirinya IAIN Imam Bonjol Padang menjadi salah temali yang menghubungkan pemerintah pusat dan daerah. Taufik Abdullah ketika memberi pengantar buku Kahin (Kahin,2005) menyebutkan masa pergolakan PRRI ini sebagai masa krisis politik yang membawa malapetaka dan menyisakan pengalaman traumatis yang mendalam.

Ia menceritakan ketika ia pulang kampung ke Sumatera Barat di awal tahun 1961, ia merasakan suasana yang asing. Masyarakat Minangkabau yang biasanya aktif dalam membincang pendirian republik, menurutnya berbalik menjadi masyarakat yang enggan bicara politik. Sebabnya, masyarakat Minangkabau tidak ingin terjadi hal-hal yang buruk pada keluarganya. Secara metaforis, Taufik melukiskan keadaannya ketika pulang kampung dengan istilah, “di kampung rasa di rantau.”

Berdirinya IAIN Imam Bonjol Padang di bawah asuhan Yayasan Imam Bonjol yang didirikan oleh Drs Azhari, Sekretaris Kota Padang masa itu, terlihat sebagai upaya pemulihan mental orang Sumatera Barat melalui jalur pendidikan keagamaan. Yayasan ini dipelopori oleh Azhari dan kawan-kawan pada tahun 1962 sebagaimana tercantum dalam Akta Notaris No. 34 tanggal 19 Februari 1962.

Artinya Yayasan ini berdiri tidak lama usai peristiwa PRRI ini mereda pertengahan Juni 1961, sekaligus menunjukkan masyarakat Sumatera Barat segera move on usai gejolak politik terpenting dalam sejarah provinsi ini pasca kemerdekaan RI.

Kementerian (Departemen) Agama RI sebagai wakil pemerintah dalam bidang agama dan pendidikan keagamaan masyarakat memiliki peran penting dalam pemulihan ini. Dalam SK menteri agama itu tertulis petimbangan menegerikan ketiga fakultas agama tersebut, yaitu dalam rangka nation and character building. Menurut Departemen Agama, agama dan kesadaran agama adalah unsur mutlak dalam membangun nation and character building.

Masyarakat Minang dalam hal ini dipandang pro aktif dalam mendorong pembanguanan bangsa melalui jalur pendidikan keagamaan. Oleh sebab itu, menteri agama menimbang, penegerian beberapa fakultas itu sebagai apresiasi sekaligus menyambut asiprasi masyarakat Sumatera Barat untuk memiliku lembaga pendidikan tinggi agama Islam yang berstatus negeri.

Berdasarkan narasi sejarah itu, kehadiran IAIN Imam Bonjol Padang mestinya bukan semata dipandang sebagai program pemerintah dalam rangka membangun karakter bangsa Indonesia melalui jalur pendidikan agama. Lebih dari itu, kelahiran IAIN Imam Bonjol Padang juga dapat diletakkan dalam fase kebangkitan pendidikan tinggi agama Islam, sekaligus sebagai kemajuan rekonsiliasi pasca peristiwa PRRI.

Tinggal generasi sekarang mengambil peran. Dulu IAIN Imam Bonjol Padang hadir karena aspirasi masyarakat Minang. Jadi sekarang UIN Imam Bonjol Padang mesti mencari dalil agar tetap engangement dengan masyarakat Sumatera Barat dan pemerintah pusat. Engagement kata orang komunikasi berarti komunikasi dua arah. Pakar komunikasi Wilbur Schramm (1954) menyebutnya komunikasi interaksional. Kunci dari komunikasi interaksional ini adalah umpan balik (feedback) atau tanggapan, baik dari masyarakat Sumatera Barat ataupun dari pemerintah pusat. Kita tentu tak ingin UIN Imam Bonjol Padang hanya bercakap-cakap tentang dirinya sendiri atau sibuk mempercakapkan kemajuan UIN lainnya di Sumatera Barat, tapi lupa berbenah. [MN]

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *