Tertangkap Dalam Kebodohan; Membebaskan Dari Kendali Dunia atau  Dunia Mengendalikan Kita?

Oleh Mahasiswa Semester IV Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Muhammad Ziqri Ramadhan

Di keheningan malam yang gelap, terlintas satu pertanyaan yang menghantui pikiran manusia : Apakah kita benar-benar bebas ataukah kita hanya menjadi tawanan dalam jeratan kebodohan? Sangatlah menarik untuk merenungkan pertanyaan ini. Di era yang serba terhubung seperti saat ini, kita merasa telah mampu mengendalikan dunia, sementara pada saat yang sama, kita sebenarnya telah terjebak dalam kendali dunia.

Tulisan ini akan menggelitik pikiran dan menawan hati dunia literasi dengan menghantarkan tema “Tertangkap Dalam Kebodohan; Membebaskan Dari Kendali Dunia atau Dunia Mengendalikan Kita?”. Seperti rangkaian kata-kata yang menari di udara, kita akan merenungkan tentang makna sebenarnya dari literasi dan peran pentingnya dalam membebaskan yang merajalela.

Di negara Indonesia yang kaya akan budaya dan warisan intelektual, tingkat literasi masih menjadi tantangan yang nyata. Keterbatasan akses terhadap pendidikan berkualitas dan kurangnya budaya membaca yang melekat dalam masyarakat kita, telah menjadikan kita terperangkap dalam kegelapan pikiran yang tak terhingga. Namun, jangan biarkan diri kita terhanyut dalam arus kebodohan ini. Mari kita bersama-sama meraih sinar harapan yang tersembunyi dibalik kabut kesesatan.

Dalam penjelasan berikut ini, kita akan menelusuri jalan yang tersembunyi demi menyingkap lapisan kebodohan yang mengikat, menemukan bahwa literasi adalah kunci untuk membebaskan diri dari kendali dunia yang mengandalikan kita. Survei  Most Literate Nation in The Word 2016 mengungkapkan Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara soal minta baca (Khusairi, Nasib Sebuah Buku di Tengah Iklan Gadget Baru, 2020). Terlihat dari data tersebut minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dan akan menimbulkan kebodohan dalam memahami suatu hal. Inilah yang dikhawatirkan Fuad Mahbub siraj Ph. D, pandemi kebodohan. Pandemi kebodohan itu adalah kehilangan daya kritis menerima informasi dan ikut-ikut saja (Khusairi, Nasib Sebuah Buku di Tengah Iklan Gadget Baru, 2020). Di era saat ini kita seringkali terlena akan indahnya dunia literasi melalui media sosial tanpa melihat kebenaran yang terjadi, yang pada akhirnya kita tanpa sadar telah dikendalikan oleh dunia seutuhnya.

Akan tetapi, janganlah kita terperangkap oleh anggapan bahwa dunia telah mengandalikan kita. Kita justru memiliki peran penting dalam menentukan arah dunia yang kita tinggali di era yang penuh dengan teknologi dan informasi. Dengan literasi yang kuat dan pemahaman yang mendalam, kita dapat menemukan cara untuk menahkodai arus informasi yang tak terbatas ini dengan bijak. Setiap halaman yang kita baca, setiap kata yang kita telusuri, kita akan menemukan kekuatan untuk memahami dan memperbaiki posisi kecerdasan kita terhadap sesuatu.

Perjalanan ini awalnya bermuara pada literasi yang minim sehingga menjadi isu yang semakin mengkhawatirkan dalam masyarakat saat ini. Ketika literasi rendah menjadi kenyataan, kita menjadi rentan untuk dikuasai oleh dunia. Ketika kita lihat pada saat ini percepatan teknologi sangat melijit, termasuk penggunaan gadget yang aktif namun dikonsumsi secara tidak normal.

Hadirnya teknologi canggih yang seharusnya dijadikan sebagai alat peningkatan posisi diri, akan tetapi tidak dipakai secara sehat. Kita sekarang ini hanya ingin menjadi pengkonsumsi sehingga apa yang dikonsumsi dimakan secara mentah tanpa adanya pemahaman, pengelolaan dan pemanfaatan yang baik dari apa yang didapatkan.

Banyak alat literasi yang muncul ditengah masyarakat termasuk buku dan gadget yang memudahkan kita mengakses bahan bacaan atau bahan kepintaran masyarakat. Banyaknya buku yang beredar tidak membuat pergerakan yang serius dalam masyarakat untuk meng-upgrade diri. Membicarakan buku di tengah budaya baca yang rendah seperti hendak mengangkat batu besar seorang diri. Budaya di depan gadget berjam-jam telah menjatuhkan kehidupan dengan buku. Kecuali mereka penggila bacaan, haus pengetahuan, juga akademis yang diwajibkan untuk mengusai keilmuannya (Khusairi, Nasib Sebuah Buku di Tengah Iklan Gadget Baru, 2020).

Dalam kutipan tersebut kita dapat memahami bahwasannya buku yang seharusnya menjadi pedoman kepintaran hanya dimanfaatkan oleh para ilmuan yang berkepentingan saja, tidak sama halnya untuk masyarakat lain. Kemudian kalahnya persaingan buku dengan hadirnya gadget, yang saat ini pemanfaatannya sangat luar biasa dibandingkan buku.

Perjalanan berlanjut, dengan fenomena literasi masyarakat yang rendah dapat membuat kita dibodohi oleh dunia seperti penyebaran informasi palsu atau hoaks. Dalam era digital yang semakin maju, informasi dapat dengan mudah disebarluaskan melalui media sosial dan platform online lainnya. Namun, ketika masyarakat memiliki tingkat literasi yang rendah, mereka mungkin tidak mampu membedakan antara informasi yang akurat dan informasi yang palsu.

Sebagai contoh, ketika terjadi peristiwa penting seperti pemilihan umum atau pandemi, seringkali muncul berbagai klaim yang tidak berdasar atau berita palsu yang beredar di media sosial. Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan literasi yang cukup, mungkin mudah terpengaruh oleh informasi palsu ini. Mereka dapat mempercayai klaim yang tidak terverifikasi atau membagikan informasi yang tidak akurat kepada orang lain tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu.

Dalam situasi seperti ini, kita dapat dibodohi oleh dunia karena kita tidak mampu membedakan antara fakta dan opini, atau antara informasi yang berdasar dan informasi yang tidak mendasar. Hal ini dapat berdampak negatif pada pandangan dan sikap kita dalam mengambil keputusan.

Selain itu literasi yang rendah juga dapat membuat kita mudah terjebak dalam jeratan penipuan atau manipulasi. Ketika kita tidak memiliki kemampuan literasi yang kuat, kita mungkin tidak mampu memahami dokumen atau kontrak dengan baik. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memanipulasi atau menipu kita. Kita mungkin tidak dapat melindungi diri sendiri atau mengambil keputusan yang bijaksana dalam situasi tersebut.

Contoh lain dari fenomena literasi masyarakat rendah adalah kurangnya partisipasi dalam kegiatan sosial politik. Ketika masyarakat tidak memiliki kemampuan literasi yang cukup, mereka mungkin tidak mampu memahami isu-isu politik atau berkontribusi dalam diskusi dan pengambilan keputusan yang penting. Hal ini dapat menyebabkan ketidakberdayaan masyarakat dan membuat mereka terpinggirkan dalam proses pembuatan kebijakan atau pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Tidak hanya pada bidang politik, kasus ini juga terjadi pada bidang pendidikan yang diungkapkan oleh Abdullah Khusairi (AK) pada esainya “ Gagal Pakai Sistem Online”, dalam esai menceritakan seorang anak yang bernama Hasbi gagal bersekolah dikarenakan sistem peneriman siswa secara online, walau Hasbi sudah masuk zonasi sekolah dan nilai akademik yang memadai.

Itulah salah satu kasus dari ribuan kasus pendidikan yang menyedihkan di negeri ini. Dampak dari kebijakan yang tak pernah berpihak pada kaum miskin di dunia pendidikan. Pendidikan hanya berpihak kaum berada, apalagi sekolah-sekolah tertentu (Khusairi, Gagal Pakai Sistem Online, 2020). Kasus tersebut merupakan dampak kebodohan teknologi informasi yang gagal pakai, resikonya mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah dan berhak mendapakan pendidikan yang layak.

Sebagai akhir dari tulisan ini, kita mungkin bisa mengambil pelajaran dari fenomena yang relate pada saat ini. Dalam kehidupan sehari-sehari, kita seringkali terjebak dalam kebodohan kita sendiri, baik itu disadari ataupun tidak. Akan tetapi, bukan berarti kita harus menyerah dan membiarkan diri kita terus menerus dikendalikan oleh dunia.

Sebaliknya, kita harus berusaha untuk membebaskan diri dan mencoba untuk mengambil alih kendali atas hidup kita sendiri. Kita harus berusaha untuk menjadi lebih mandiri dan tidak selalu mengandalkan hal yang tidak pasti dalam membuat keputusan.

“Tertangkap dalam kebodohan, kita mungkin merasa terjebak dan tak berdaya. Namun, dibalik itu semua ada peluang untuk belajar dan berliterasi untuk tumbuh. Dunia mungkin mengendalikan kita, tetapi kita juga memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Jadi, mari kita lepaskan diri dari kendali dunia dan ambil alih kendali atas hidup kita. Karena pada akhirnya kita adalah penulis cerita hidup kita sendiri dan kita memiliki kekuatan untuk membuatnya menjadi sebuah kisah”.

Inilah akhir dari perjalanan kita, namun bukan berarti ini akhir dari segalanya. Dalam hidup ini, kita sering kali teperangkap dan jatuh, kita belajar untuk bangkit dan melangkah lebih jauh. Kita belajar bahwa kebodohan bukanlah akhir, tetapi awal dari pengetahun yang lebih mendalam. Dan disinilah gerakan literasi masuk, melalui literasi kita bisa membebaskan diri dari kebodohan. Melalui literasi, kita bisa menjadi lebih berpengetahuan dan lebih paham tentang dunia disekitar kita.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *