Komunikasi Politik Atas Nama Bangsa

ABDULLAH KHUSAIRI

Mari bicara hati ke hati demi bangsa-negara (nation-state) ini agar tetap terawat hingga anak cucu kita. Memasuki tahun politik menjelang rakyat ke TPS pada tahun 2024, ketegangan kelompok elite mulai dimainkan oleh para pendengung di media sosial. Sungguhpun para elite telah menggelar berbagai pertemuan dan tersenyum mesra di depan kamera namun sesungguhnya di tempat lain sedang terjadi vibrasi yang menggetarkan kesetiaan kita; persatuan dan kesatuan.

Tempat lain itu bernama media sosial, yang kini menjadi medan pertempuran wacana. Akun-akun anonim berkeliaran lebih banyak dan berkembang biak cepat dibandingkan akun-akun resmi dan bertanggung jawab. Serangan-serangan dan pancingan kegaduhan sudah dilancarkan untuk meruntuhkan reputasi personal elite. Hampir sulit dilacak ada tawaran-tawaran gagasan baru agar massa tertarik untuk bersimpati. Sebaliknya kristalisasi dukungan kian menguat dan memeruncing serta membuat genting hubungan antarelite.

Elite bangsa ini harus mampu menahan diri untuk bertempur habis-habisan dan justru merusak tatanan sosial yang sudah dirawat sejak lama. Politik kekuasaan sebaiknya tidak membuat luka sosial lebih dalam lagi. Hal ini hanya bisa dielak ketika kedewasaan para elite; supra elite, sub elite, kontra elite dan massa dalam memandang kekuasaan tiada lebih demi merawat Indonesia yang kita cintai.

Saafroedin Bahar dalam tulisannya bertajuk Komunikasi Politik dalam Proses Integrasi Bangsa: Sebuah Tinjauan dari Teori Elite (2001) menyarankan agar elit supra elite, sub elite, kontra elite dan massa terus memperbaharui pengetahuan wawasan kebangsaan agar tidak terlena dengan kepentingan kelompok, etnik dan agama dimana hal tersebut akar yang sering menjadi sumbu api konflik berkepanjangan dan merugikan keadaan.

Azyumardi Azra menyatakan, Indonesia adalah keajaiban (miracle) dunia yang menyatukan banyak hal (agama, budaya, etnis) dan semua orang di dalamnya mesti bersyukur atas keadaan yang terus menuju kebaikan sungguhpun belum semua tercapai. Adapun dinamika politik kekuasaan hendaknya dialaskan kepentingan bangsa bukan kepentingan kelompok, etnik dan agama yang mengandung sektarianisme, intoleran, serta bisa menggores luka dan air mata jika tidak mampu dipakai dalam skala yang lebih luas.

Ruang publik kita kian gaduh dengan politik identitas, yang sebagiannya menyebutkan penting digelorakan sedangkan yang lain menyatakan bahayanya. Toleransi (tasyammuh) adalah kunci, moderasi beragama juga bagian dari usaha negara agar jangan pernah “mengadu ujung jarum” perbedaan di ruang publik.

Pemilu 2024 adalah pesta demokrasi merupakan ujian menuju Indonesia baru yang terus melangkah hingga dewasa. Gagasan-gagasan baru dari para elite sangatlah penting sebagai tawaran kepada publik. Publik yang kini juga bagian dari komunikator politik melalui media sosial semestinya menyadari pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Menjaga hati yang lain agar tidak terluka adalah sikap bijak di media sosial. Konflik politik di ruang publik (public sphere) khususnya di media sosial jangan tiba ke tengah realitas kehidupan. Massa harus menjaga dan merawat keindonesiaan dari hati.

Kata Azyumardi Azra, kontestasi politik identitas dampak dari “mulut comberan” di media sosial dari orang-orang tidak bertanggung jawab.
Istilah “mulut comberan” muncul ketika diketengahkannya Disertasi bertajuk Politik Identitas dan Perebutan Kekuasaan Hegemoni Kuasa: Kontestasi dalam Politik Elektoral di Indonesia (2022) yang ditulis oleh Dr. Muh. Khamdan, MA. di Sekolah Pascasarjana UIN Ciputat.

Adalah harapan kita bersama, agar “mulut comberan” dari orang-orang tak bertanggung jawab tidak ada lagi dalam pesta demokrasi pada pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilihan legislatif 2024 ini. Para elite berkuasa, sub elite, kontra elite, massa, juga media massa-media sosial, mampu mengedepankan tawaran gagasan-gagasan kemajuan peradaban. Hal ini untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan kualitas hidup sebagai warga dunia yang bermartabat.

Indonesia harus dirawat dengan komunikasi politik atas nama bangsa bukan atas nama kelompok yang mengedepankan sikap sektarianisme, radikalisme, intoleransi, kebencian dan caci maki. Meminjam istilah Saafroedin Bahar, tanggung jawab itu ada pada elite di setiap kelompok untuk membangun kerangka referensi bersama yang secara formal dikenal sebagai common standard of achievements. Salam. []
Sumber: Harian Singgalang, Rabu 28 September 2022

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *