Bukalah Pikiran Agar Tidak Radikal dalam Beragama

Padang (DKTV)

Apa yg kita tangkap belum tentu itu sesungguhnya benar. Sesuatu yang dilihat belum tentu itu benar, karena semua itu telah terperangkap di dalam pikiran kita. Peta bukanlah wilayah, dan wilayah itu fakta yang sengguhnya dan Peta ada dalam kepala. “The map is not the territory,” ungkap Muhammad Taufik dalam pemaparan materi Moderasi Beragama pada Minggu, (22/10/2023).

Muhammad Taufik selaku Ketua Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Imam Bonjol Padang juga mengatakan, konflik bisa terjadi karna terjebak di dalam tafsir sendiri, melainkan bukan karena faktanya. Agar kita tidak sesat maka datanya harus dikumpulkan. Asumsi jadi hipotesis, cari datanya baru bisa disimpulkan.

“Maka tugas kita mencari data sebanyak mungkin supaya kita tidak terjebak dengan asumsi kita, asumsi itu diperkuat dengan data,” ujar Ketua RMB

Tambahnya, orang awam sering terjebak dengan hoax, kecenderungan logika yang salah melahirkan ketegangan hingga terjadi konflik. Maka sebab itu bangun persepsi untuk agama.

“Bukan agama yang membuat kita seperti itu tapi tafsir kita tentang agamalah penyebabnya. Kita terbatas tentang data sehingga kita berasumsi buruk,” tegas Muhammad Taufik dalam penyampaian materi moderasi beragama.

Lanjutnya, ketika kita mendengar informasi, kita akan mendapat dua pilihan, mendalami atau menyangkal. Ketika kita mendengar informasi yang bertentangan dengan prinsip agama kita, apa yang kita lakukan menilainya atau menegurnya.

“Open mind, kita harus membuka diri,” tutupnya.

Senada dengan hal itu, Aidil Aulya sebagai pemateri juga mengatakan, beragama harus radikal. Karena radikal itu dasar, sehingga kita beragama harus mendasar dan mendalam.

“Yang tidak boleh itu beragama secara Radikalisme, karena Radikalisme itu kepentingan pribadi yang membawa-bawa agama tetapi bertujuan lain seperti politik, ekonomi, dan sosial,” ujar Aidil.

Lanjutnya, ada lima agama resmi yang ada di negara Indonesia, 87% populasi muslim di Indonesia terkonstrasi di Pulau Jawa. Negara memberikan akomodasi yang sama untuk warna negara, walaupun nanyak perbedaan baik agama, suku, ras, dan lain sebagainya.

Aidil juga mengatakan, ada tiga struktur demografi ; 1. kelompok Urba atau Perkotaan, 2. Middle Class, 3. kelompok Milenial.

“Kelompok Milenial dijadikan penanda positif bahwa Indonesia sebagai bonus demografi,” ujarnya.

Bonus demografi berada di Generasi Z (Gen z). Generasi Z adalah generasi setelah Generasi Milenial, generasi ini merupakan generasi peralihan Generasi Milenial dengan teknologi yang semakin berkembang.

Diketahui rata-rata masyarakat Indonesia menggunakan gadget. Alasan utama masyarakat Indonesia menggunan internet untuk mencari informasi.

“Masyarakat Indonesia mencari informasi baik soal agama, politik, ekonomi apa saja yang ada di internet,” ujarnya.

Dikarenakan hal itu, munculah tantangan seperti semangat beragama tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dan negara. Tidak seharusnya membanding kan sesuatu yg tidak sebanding, misalnya membandingkan Al-Quran dengan Undang-undang (UU), itu adalah pelecehan agama.

“Dibenturkan agama dengan negara itu adalah tantangan masa kini dan kedepannya,” ujarnya.

Adapula Tantangan lainnya, mengenai cara pandang dan bersikap agama yang berlebihan di masyarakat, seolah-olah beragama tetapi mengesampingkan manusia.

“Tidak baik dan tidak lazim, beribadah umrah tetapi tidak melihat tentangganya masih kelaparan, ini banyak terjadi di masyarakat Indonesia,” tegas Aidil dalam menyampaikan materi pada siang ini, Minggu (22/10/2023).

Aidil berharap, masyarakat Indonesia dapat membuka pikiran, maka akan tau apa yang akan dilakukan, apa yang akan dikerjakan. (Riq)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *