Perjuangan Hasbullah Haris Menulis Buku Mandulang Cinto

Padang (DKTV)

Penulis Buku “Mandulang Cinto” Hasbullah Haris membeberkan perjuanganya dalam mencari sejarah tentang kerajaan alam Sungai Pagu yang terletak di Kabupaten Solok Selatan, yang berdiri sejak abad ke-14 di dalam Novelnya.

Upaya dalam mencari dan mewawancarai langsung tokoh-tokoh ternama yang memakan waktu hampir satu bulan, dalam mencari data. Sejarah ini lebih kesadaran dikarenakan masih banyak orang tidak mengetahui tentang Sungai Pagu.

“Tentang sungai pagu ini udah ngak banyak lagi orang yang mengharap itu,” ucap Haris kepada wartawan DKTV.

Lanjutnya, itulah menjadi alasan penting untuk membangkitkan dorongan pentingnya mengingat sejarah Kerajaan Sungai Pagu melalui novel “Mandulang Cinto”.
” Sebab, masih belum ada sama sekali penulisan berbentuk Novel fiksi, namun secara penelitian jurnal ilmiah sudah ada, yaitu dosen pak Yulizal Yunus,akan tetapi, itu tidak termasuk dalam kategori novel.”

Tidak terlepas dari berbagai tantangan di lapangan dalam pencarian mendapatkan data. Terlebih lagi, ketika sulitnya melihat naskah kuno karena ketatnya penjagaan terhadap peninggalan sejarah tersebut.

“Soalnya kan ada naskah kunonya tuh. Naskah kuno itu nggak boleh dilihat sama sekali. Nah ini gimana caranya nih kita mengambil data?. Tapi naskahnya orang enggak mau ngasih ke kita. Akhirnya, bercerita-cerita, ternyata kami sesuku gitu!. Akhirnya, bolehlah dilihatkan karena sesuku gitu,” sambung sang penulis.

Haris juga menyampaikan, naskah yang ditulis dengan beralaskan kulit sapi atau kambing dan itu masih terjaga sampai sekarang. Namun hanya orang-orang tertentu bisa melihat seperti, satu suku, sejarawan atau yang orang ahli dibidang tersebut. Selain itu, tidak bisa diperlihatkan ke wisatawan.

“Naskah tambo alam surambi sungai pagu itu dilihatkan. Itu masih ditulis dalam apa ya kulit sapi atau kambing mungkin itu dan itu masih ada sampai sekarang masih ada,” ungkap salah satu Mahasiswa Fakultas Adab.

Lanjutnya, penulisan buku ketiga yang berbasis bahasa Minang, menurutnya, jadi tidak terlalu sulit untuk mengeksplorasi. Dengan memilih diksi dan hal-hal seperti itu, akan tetapi kehabisan data di pertengahan novel.

Namun, disambung dengan mencari data di Malaka melalui buku ataupun tulisan. Tentang Malaka, yang bisa di eksplorasi dan itu lebih banyak imajinasi aja. Sebab, adanya perdagangan antara Sungai Pagu dengan malaka itu sudah terjalin.

“Mentoknya itu di ketika pertengahan novel ini. Udah kita habisin data waktu itu, nih ceritanya mau dibawa ke mana?. Soalnya udah keluar dari jalur ceritanya!. Jadi lebih cerita perjalanan dan enggak hanya di alam surambi sungai pagu aja udah sampai ke Malaka karena abad abad segitu,” sambung Duta Baca UPT Perpustakaan.

Disamping itu, Haris juga menyampaikan, teruntuk nama tempat asli semua, yang disamarkan itu nama tokoh agama dan tokoh lainnya. Beberapa kejadian yang terjadi, ada benar nyatanya seperti, ceritanya tentang banjir besar atau galodo.

Lanjutnya, pembuatan buku full semuanya sendiri dari awal penelitian ke lapangan yang di halangi sama sumber data dan bahkan banyak lainnya.

“Kamu jangan nulis tentang itu cilako, bahwa itu tentang nyawa saya tulis tentang itu. Ada seperti itu karena salah satu keterbatasan orang minang dibanding orang luar,” tutupnya.

Disamping itu Penulis Buku, Ka’bati memberikan komentar bahwasanya, buku “Mandulang Cinto” lebih bercerita tentang sejarah tentang Minang Kabau dengan versinya haris sebagai orang Solok Selatan.

Lanjutnya, menurutnya, buku ini lebih banyak mengkaji tentang persoalan perempuan dan Gender. Memperlihatkan seorang perempuan Minangkabau yang kuat dengan karakternya. Dengan akhiran yang Happy Ending. Berbeda dengan, Buku Siti Nurbaya atau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Hamka.

“Happy ending sebenarnya, walaupun pahit ya luka-luka petualangan di hutan, lari-lari dan sebagainya, tapi harus menghadirkan bahwa siapa yang mau berjuang,” ucapnya kepada wartawan DKTV.

Perempuan yang kuat dan mau berjuang, pasti akan mendapatkan apa yang diinginkan. Dilihat dari bacaan bahwasanya, memperlihatkan posisi dalam tulisan karya sastra dan juga sebagai bentuk apresiasinya. Terhadap perempuan Minangkabau yang gigih.

Tidak kalah menariknya, buku “Mandulang Cinto” yang merupakan sastra yang ditulis dalam bahasa Minang. Bahasa daerah yang bertahan sampai hari ini diantara bahasa daerah lain yang mulai punah itu karena ada komitmen penggunanya untuk terus memakai Bahasa Minang.

Ka’bati berharap, agar buku yang ditulis tersebut dapat apresiasi, direspon, dan didiskusikan oleh masyarakat.
“Terus tumbuhkan semangat menulis, karena dengan fasilitas yang mendukung dan media sosial. Maka akan membuat daya berpikir lebih kreatif kedepannya.”

Wartawan: Irvan Mufadhdhal Zulis dan Fernando Pratama

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *