Berjuanglah Agar
Tetap Relevan

Cepat atau lambat perubahan akan terjadi. Disrupsi di berbagai bidang telah nyata. Satu-satu teori jatuh dan rebah kuda dan segera menjadi sejarah karena perubahan. Mereka yang terlambat berjuang untuk tetap relevan akan segera berada pada posisi sebagai kaum konservatif yang cenderung menyalahkan keadaan.

Dunia cepat berubah ketika teknologi informasi memberikan kemudahan-kemudahan. Misalnya, market place lahir berbasis online telah membuat kebiasaan pembeli tidak harus keluar rumah. Didukung oleh pandemi, ke pasar menjadi tidak relevan bagi sebagian orang, khususnya milenial generasi Z.

Suatu hari, Pemimpin Redaksi www.langgam.id, Hendra Makmur mengungkapkan kenyataan pahit, sebuah disrupsi membawa gelombang konvergensi yang sangat hebat di dunia media. Dimana kebiasaan publik bergeser dari media konvensional, bahkan disebut sebagai media tradisional, ke new media (media baru). Media cetak bagi milenial Z dan generasi Alpha, adalah hal yang dianggap kuno, televisi bukan barang aneh, radio jarang pula didengar. Sungguhpun sebenarnya media tradisional tadi masih ada, masih ada peminat namun tidak lagi menjadi arus utama. Pada tikungan sejarah yang pahit, tiba-tiba media sosial telah menjadi sarana secara personal bisa membangun wacana lebih kuat dan besar.

Hal ini membuat teori-teori runtuh sudah. Generasi X, Y, Z hingga Alpha, sudah nyata memiliki arus peradaban baru. Maka lahirnya pernyataan; Setiap generasi ada medianya, setiap media ada generasinya. Kini tinggallah sebagian kecil generasi baby boomer yang nyinyir menyalahkan keadaan.

So, kini perkembangan lebih cepat. Satu dua media sosial bahkan kian dianggap tidak relevan. Penutupan Black Berry Messenger (BBM), sebagai medium chatting, harus diakui pukulan telak atas kehadiran messenger di Facebook, lalu booming aplikasi WhatApps. Sarana chatting ini akhirnya berbagi pada segment usia, misal WeChat, Telegram, memiliki pangsa pasar yang berbeda. Tidak dipasar umum.

Hal itu juga terjadi pada media sosial seperti Facebook dan Twitter yang digunakan paruh baya, tetapi Instagram lebih banyak digunakan kaum remaja. Lalu datanglah aplikasi Tik Tok. Media sosial yang lain tak mau dimakan kehadirannya, lahirlah Reel, video pendek, bahkan Youtube pun ikut-ikutan untuk itu membuat short video.

Perkembangan berbagai medium dalam ranah New Media dengan basis utama internet itu sudah tak lagi bisa diukur dengan puluhan tahun, seperti halnya sejarah perkembangan sosial media seperti lahirnya media cetak, radio dan televisi yang memang hitungan abad. Kini setiap tahun selalu ada yang baru, bertarung untuk mendapatkan pasar pengguna (user). Ada yang gagal ada yang mendapat tempat.

Kecepatan yang sulit dikejar ini, apa usaha kita agar tetap relevan? Tiada lain adalah belajar tiada henti-henti, lebih cepat, lebih tepat. Membaca dan membaca. Mencoba dan mencoba. Medium yang berkembang itu adalah sarana untuk belajar, bukan sekadar untuk dinikmati. Informasi harus dikuasai baik secara materinya, strateginya, maupun mediumnya. Itulah jalannya. Apakah itu bisa? Bisa. Persoalannya, mau atau tidak, mampu atau tidak. Mau relevan dengan zaman atau segera tertinggal jauh.

Itu pula yang terjadi pada bidang-bidang kehidupan yang lain. Jika di atas adalah paparan tentang media massa, hal yang sama juga terjadi pada ranah-ranah keilmuan, program studi, bahkan para akademisi. Ada juga akademisi yang bertahan dengan teori lama, sekalipun kenyataan sudah berubah jelas.

Banyak akademisi yang dulu bangga menyatakan, gaptek! gagap teknologi. Sementara, perubahan dari analog ke digital, sudah dapat diperkirakan sudah kian memudahkan siapapun, ilmu apapun. Mereka yang bangga dengan pernyataan Gaptek, kini sudah tiada terdengar lagi. Mungkin sudah belajar, mungkin juga membiarkan keadaan, atau justru ada jalan keluar.

Gagap teknologi adalah hal yang wajar, namun tak mau belajar secara cepat adalah cara egois yang akan membuat seorang akan segera tidak relevan dengan zaman. Adalah benar, setiap orang ada zamannya, setiap zaman ada orangnya. Tetapi ada juga, orang yang tetap ada di setiap zaman, bahkan nyari selalu di depan. Misalnya, almarhum Rosihan Anwar, begawan jurnalistik yang hidup di tiga zaman dan selalu relevan dengan zaman yang dilaluinya.

Hal-hal di atas bukanlah kabar petakut, tetapi semacam rambu-rambu. Ada hal yang harus dikuasai dengan cepat, tepat hingga ke akar. Hal itu mungkin bidang ilmu dan profesi, yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidup. Itulah yang harus dilakukan. Jangan pernah berhenti, apalagi merasa puas dalam satu titik. Sebab titik-titik itu segera berkembang karena disrupsi bisa begitu cepat mengubah keadaan. Seperti berubahnya nilai mata uang.

Terakhir, relevan atau tidak mungkin saja bisa sesuatu yang relatif. Namun kehidupan sosial sudah nyata berubah cepat. Waktu dan tempat bukan lagi sebuah masalah. Teknologi menjawabnya. Orang sadar dengan hal itu, telah memulai dengan kehidupan lebih maju, menggunakan kekuatan kolaborasi lintas kelompok, agama, suku, antargolongan. Mereka yang masih mengusung kepentingan berdasarkan cara berpikir kaum baby boomers bisa tertinggal jauh. Kian tidak relevan. Ditinggalkan abad, yang terus berlari, menjadi barang lapuk dan segera berada pada posisi dianggap kuno dan langka. Ayo, berjuang tetap relevan.

Abdullah Khusairi ( Wakil Dekan III FDIK UIN Imam Bonjol Padang)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *